Bermuamalah Dengan Non Muslim -2

Orang-orang non muslim di zaman Nabi dihormati dan dilindungi hak-hak asasi mereka, serta diperlakukan dengan baik, selama mereka tidak melakukan tindakan provokatif, persekongkolan jahat, atau bahkan memerangi kaum muslimin, serta selalu menjaga hubungan harmonis dalam tatanan masyarakat.

Penyebutan nama Yahudi dan musy­rikin dalam Piagam Madinah me­nunjukkan bahwa Nabi SAW bersama kaum muslimin sama sekali tidak berfikir hendak mengatur siasat politik untuk me­musuhi dan menyingkirkan mereka, atau membangun masyarakat politik yang eksklusif bagi orang-orang Islam. Bah­kan sebaliknya, ini sebuah pengakuan atas hak hidup dan bermasyarakat da­lam negeri Madinah.

Selanjutnya dalam membina komu­nitas politik, Nabi Muhammad SAW meng­ikutsertakan semua penganut aga­ma. Dakwah dilaksanakan sungguh-sungguh, tapi tidak memaksakan orang beralih agama. Kebebasan menganut dan menjalankan agama diberikan bagi komunitas-komunitas agama lainnya, dengan syarat mereka tidak mencampuri urusan kaum muslimin dan pemerin­tah­an yang diatur kaum muslimin.

Sebagai contoh, ketika ajakan untuk menerima Islam sebagai agama beliau tujukan kepada para pembesar Himyar dan lainnya, beliau tidak serta merta me­maksakan hal itu. Jika mereka meneri­ma­nya, sungguh berarti bagi Islam. Tapi jika mereka menolaknya, ada kewajiban lain sebagai warga negara untuk tunduk pada pemerintahan Madinah, dan me­nunaikan jizyah (pajak) bagi kelangsung­an negara. Begitupula ketika menak­luk­kan Makkah, Nabi SAW memberikan am­nesti umum, tanpa syarat konversi agama kaum musyrik Quraisy. Terkenal­lah ungkapan beliau bagi orang-orang musyrik Makkah, “Idzhabu fa antumuth thulaqa`…” (pergilah, kalian bebas semua).

Dalam membina hubungan dengan komunitas non muslim, Nabi Muhammad SAW selalu menempuh jalan damai, sepanjang komunitas itu tidak memusuhi Islam dan kaum muslimin. Selama se­puluh tahun memimpin kehidupan ma­syarakat di Madinah, tidak terjadi perang dengan kelompok musyrikin Madinah. Adapun kelompok-kelompok Yahudi yang kemudian diperangi Nabi SAW, bu­kan karena faktor agama mereka, atau karena mereka tak mau masuk Islam, tetapi karena mereka melanggar perjan­jian yang telah dituangkan secara ber­sama dalam Piagam Madinah. Hal inilah yang menimpa tiga kabilah utama Yahu­di Madinah; Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.

Sikap penuh penghormatan dan peng­hargaan yang ditunjukkan Nabi SAW kepada kaum non muslim yang ti­dak memusuhi umat Islam, sebagai­mana disebutkan, merupakan salah satu bukti bahwa di masa Nabi, kaum non muslim diperlakukan dengan begitu baik, penuh keadilan, toleransi, serta jauh dari sikap diskriminatif dan kesewenang-wenangan.

Fakta lain menunjukkan bahwa Ra­sulullah SAW sering berkunjung ke ru­mah orang-orang non muslim, utamanya saat seseorang di antara mereka men­de­rita sakit. Menurut riwayat Ibnu Ishaq, ketika delegasi kaum Nasrani Najran mengunjungi Rasulullah di Madinah, me­reka langsung menemui beliau di dalam masjid selepas waktu ashar. Ketika me­reka mencari tempat untuk melaksana­kan ibadah, Nabi mempersilakan mere­ka untuk melaksanakannya di bagian mas­jid. Ketika itu beberapa orang sa­habat akan mencegah mereka, namun Rasulullah meminta para sahabat untuk membiarkannya. Kemudian dengan meng­hadap ke timur, mereka beribadah hingga selesai.

Selain itu, Ibnu Qayyim dalam kitab­nya, Zad al-Ma’ad, juga menulis sebuah riwayat, bahwa Nabi SAW juga pernah me­nandatangani sebuah perjanjian de­ngan kaum Nasrani Najran. Bunyi per­janjian itu sebagai berikut, “Dari Muham­mad SAW kepada Abu Haris Uskup Najran, pendeta-pendeta, rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-budak mereka, se­mua­nya akan berada di bawah lindung­an Allah dan NabiNya. Tidak ada uskup yang diberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang diberhentikan dari biaranya, tidak ada pendeta yang diber­hentikan dari posnya, dan tidak akan ter­jadi perubahan dalam hak-hak mereka yang telah mereka nikmati sejak lama.”

Tatkala di Madinah, ternyata Rasul­ullah SAW bertetangga dengan orang Ya­hudi. Bahkan ketika kehabisan ma­kan­an, beliau SAW menggadaikan baju besinya kepada si Yahudi tetangganya, untuk mendapatkan pinjaman. Begitu­pun dengan kebun-kebun kurma di Khai­bar yang menjadi harta rampasan pe­rang. Ketika berhasil mengalahkan Ya­hudi yang berkhianat, kebun ini lalu dike­lola beliau secara bagi hasil dengan pe­tani kurma Yahudi. Sebab mereka ada­lah petani kurma yang berpengalaman dan paling mengerti cara bertani.

Dari uraian di atas, dapat digaris­bawahi, bahwa orang-orang non muslim di zaman Nabi begitu dihormati dan dilin­dungi hak-hak asasi mereka, serta diper­lakukan dengan baik, selama mereka tidak melakukan tindakan provokatif, persekongkolan jahat, atau bahkan me­merangi kaum muslimin, serta selalu men­jaga hubungan harmonis dalam tatan­an masyarakat di Madinah.

Sabar atas Ulah Penduduk Makkah

Pada kenyataan lainnya, Rasulullah SAW adalah seorang yang paling lapang dada dalam bermuamalah dengan kaum kafir Makkah, padahal beliau telah me­netapkan dirinya untuk mendiami Madi­nah setelah peristiwa hijrah itu.

Syahdan, tatkala Nabi Muhammad SAW telah mantap kedudukannya di Madinah, sedang suasananya pun untuk beliau menjadi jernih dan bersih, dan se­mentara itu musuh-musuh beliau mulai sadar bahwa harapan mereka untuk me­nyerang Madinah akan sia-sia, sedang kekuatan-kekuatan negara menjadi se­makin kuat dibanding dengan orang-orang musyrik maupun Yahudi yang ting­gal di sekitar Yatsrib, di samping kewiba­waan beliau yang mulia tertanam dalam hati kabilah-kabilah dan para kelana di seluruh jazirah Arab, dan sering pula me­reka mengadakan perjalanan sambil ber­cerita mengenai beliau, jalan-jalan me­nuju Makkah pun sepenuhnya telah men­jadi kekuasaan beliau, yang kemudi­an beliau mengepung jalan-jalan terse­but, beliau lalu memerintahkan kebebas­an berniaga lewat jalan-jalan itu. Dengan demikian saatnya pun mulai dekat ke­pada penyimpanan pedang ke dalam sa­rungnya, maka dengan pandangannya yang menembus, perhatian beliau tertuju bahwa telah tiba saatnya untuk menga­dakan perjanjian gencatan sejata dengan Makkah. Maka bertolaklah beliau dalam suatu balatentara yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin bersama sekutu me­reka masing-masing. Dan sambil me­ngiring binatang-binatang kurban, beliau mengumumkan bahwa beliau hendak berhaji, dan bukan hendak berperang.

Keberangkatan Nabi tersebut dide­ngar oleh orang-orang Quraisy. Maka ke­luarlah mereka untuk menghalangi beliau dari Masjidil Haram. Dan mereka menganggap bahwa bila Rasulullah di­izinkan masuk kota Makkah kali ini, maka akan merupakan bahaya besar. Dan mereka menolak, jangan sampai orang-orang Arab kelak mengatakan, bahwa Muhammad telah dapat ber­thawaf di Ka’bah, dan datang ke Makkah de­ngan kekuatan yang perkasa.

Merekapun lalu bersumpah dan sa­ling berjanji agar Nabi Muhammad jangan sam­pai dapat masuk ke kota buat se­lama-lamanya. Sebenarnya, tentara Mu­hammad benar-benar telah siap untuk menyerbu negeri kaum musyrik itu, bila mereka dalam bulan Haram itu mengha­langi dia dari hak semua bangsa Arab, yaitu berhaji ke Ka’bah, akan tetapi Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasal­lam, ternyata menyukai sesuatu yang lain. Karena sejak dia keluar dari Madi­nah, tekadnya benar-benar telah bulat un­tuk tidak berperang, sedang yang men­jadi pusat perhatiannya ialah per­damaian.

Untuk tekadnya itu, beliau tidak bisa tergoyahkan oleh sesuatu, dan tidak bisa dihalangi tujuannya itu oleh seorangpun. Padanya benar-benar telah berkumpul tekadnya yang sebenarnya dan sikap­nya yang bijak dan berhati-hati.

Menghadapi kekerasan orang-orang Quraisy itu, beliau tetap bersikap sabar. Ditempuhnya bersama sahabat-saha­batnya suatu jalan yang terjal, sehingga tidak sampai terjadi suatu bentrokan de­ngan musuh-musuhnya, dan sehingga dapat memberi kesempatan kepada me­reka buat berfikir mengenai keberanian mereka melawan beliau. Dan sabda beliau:

“Jika orang-orang Quraisy itu kini akan mengajakku menempuh suatu lang­kah untuk meminta kepadanya suatu hubungan persahabatan dengan­ku, pasti itu akan aku luluskan kepada mereka”.

Syahdan tatkala Nabi telah tiba di Hudaibiyah, di wilayah tanah Haram Makkah, orang-orang Quraisy menolak keras-keras, dan hanya menghendaki agar beliau pulang saja bersama bina­tang-binatang kurbannya yang telah be­liau giring, dan jangan bertawaf di Ka’bah, padahal beliau telah berihram Haji dan ‘Umrah.

Dan ketika Nabi mengirim seorang delegasi yang menegaskan kepada me­reka tujuan beliau baik, unta dari dele­gasi beliau itu mereka banting, sedang delegasi itu hendak mereka bunuh. Tapi pengiriman delegasi-delegasi terus di­lakukan dan beliau tetap menasihati orang-orang Makkah itu, tetapi mereka bah­kan bertambah sombong dan cong­kak.

Lalu orang-orang Makkah itu mengi­rim beberapa orang, dan menyuruh me­reka berkeliling ke tempat tentara Nabi Muhammad, untuk menangkap sahabat-sahabatnya, untuk selanjutnya di bawa ke Makkah. Tapi orang-orang yang me­reka kirim itu ternyata tertangkap, lalu dibawa ke hadapan Rasulullah. Oleh Rasulullah mereka dimaafkan lalu di­bebaskan.

Kesabaran Rasulullah Muhammad SAW yang seperti ini ternyata segera me­nampakkan hasilnya. Orang-orang Arab yang lain segera tahu bahwa Nabi SAW benar-benar tidak menghendaki pertempuran, dan tidak menyimpan niat yang buruk. Dan mulailah sekutu-sekutu orang-orang Quraisy yang paling setia mencuci tangan mereka dari dosa yang dilakukan orang-orang Quraisy. Sedang pemimpin rakyat dari berbagai suku lalu mengumumkan, bahwa ia tidak rela bila ada segolongan manusia yang dihalang-halangi dari Masjidil Haram, dan bahwa mereka semua sama sekali tidak pernah bersumpah setia kepada orang-orang Quraisy dalam hal ini.

Rekan-rekan orang-orang Quraisy dari Tsaqif lalu menasihati mereka agar jangan menghalangi Nabi, dan menakut-nakuti mereka terhadap kekuatan kaum mukminin yang ada bersama Nabi itu. Dan dengan demikian maka menjadi se­makin dekatlah tujuan yang dikehendaki oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam, yaitu genjatan senjata dan me­nempatkan perdamaian menggantikan peperangan.
Kisah Rasulullah Bermuamalah Dengan Non Muslim: Menanam Ketulusan, Berbuah Kemuliaan (Bagian 2)
Wednesday, 20 November 2013 | http://majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/3262-kisah-rasulullah-bermuamalah-dengan-non-muslim–menanam-ketulusan-berbuah-kemuliaan-bagian-2
(Bersambung)

Tinggalkan komentar